Sabtu, 09 Juni 2018

Konsumerisme Ramadhan

Ramadhan adalah bulan ibadah, sejarah ditetapkannya berbagai ritual peribadatan dan momentum peningkatan intensitas ibadah. Alih-alih nuansa syahdu ibadah, sebagian pihak justru menyulap ramadhan menjadi pesta mengumbar konsumerisme. 

 ليس العيد لمن لبس الجديد انما العيد لمن طاعته تزيد
Hari raya bukan bagi orang yang mengenakan pakaian baru karena sesungguhnya hari raya itu bagi orang yang bertambah kepatuhannya.

Hari raya yang dimaksud disini adalah hari besar yang diperingati secara sakral dengan berbagai ritual keagamaan dan dilaksanakan setelah prosesi panjang ritual keagamaan lainnya. Jadi, hari raya bukanlah hari biasa tapi hari dimana agama dirayakan atau perayaan tentang dan/atau dengan pola keagamaan.

Hal yang ditata oleh agama bukanlah sebatas display fisik dari kita, tapi lebih tajam menukik ke tampilan batin-spiritualitas kita. Agama hadir untuk menata hati, bukan busana yang membungkus tubuh.

Puasa, betul-betul tampilan batin. Dalam hadits qudsi dijelaskan bahwa puasa itu untuk-KU, kata Allah SWT. Isyarat dari firman-Nya itu adalah bahwa puasa merupakan sebentuk ibadah yang tidak bisa dinilai oleh mata manusia karena puasa tidak bisa dibonsai menjadi menahan untuk tidak makan dan minum. 

Lebih luas lagi puasa itu adalah menahan hawa nafsu. Kalau cuma menahan makan dan minum, apalagi ukurannya kelihatan orang lain atau tidak, itu hanya aktivitas fisik yang bisa dilihat kasat mata. Tapi puasa lebih ke aktivitas batin yang tidak bisa dijangkar dengan ukuran-ukuran manusia; hanya DIA yang bisa mengukurnya.

Dalam contoh kasus ajaran Islam di bulan Ramadhan, setelah dalam durasi satu bulan penuh berpuasa, lalu diakhiri dengan hari raya idul fitri. Permasalahannya kemudian, aktivitas puasanya aktivitas ukhrawy, tetapi kenapa perayaannya lebih dominan perayaan duniawy. 

Ini yang harus digaristebal; memulai dan menjalankan aktivitas puasa yang berorientasi ukhrawi, berdaya spiritualitas tinggi, dan memendarkan cahaya hati. Tapi ditutup, diakhiri, dan dirayakan dengan praktek duniawi, berbentuk ornamen fisik-material, dan hanya make-over persona luar. Paradoks bukan?

Kembali ke titik awal, apakah betul puasa yang kita jalani sebulan penuh ini diniatkan untuk mendandani hati kita?

Sahabat pembaca, mall yang menyediakan makanan siap saji di siang hari pun saat ini diramaikan dengan backsound lagu-lagu islami bahkan shalawat nabi. Hiasan-hiasan dimana-mana berubah menjadi animasi ketupat. Dan yang paling terlihat jelas adalah sale dan discount berbagai produk ditawarkan dengan alibi menyambut idul fitri.

Sekali lagi, idul fitri bukan perayaan duniawi tapi publik dikepung dengan aroma-aroma dunia disaat menyambut sang hari besar. 

Zakat, infak, dan shadaqah yang dituntut agama untuk menghiasi idul fitri dimanipulasi menjadi parsel mewah dari yang kaya memberi ke yang berpunya sedangkan si miskin hanya cukup menjadi kurir yang diupah atau bahkan penonton saja.

Sekalinya ada dus parsel dikirim oleh majikan ke pembantunya pun berisi makanan dan minuman berharga padahal sang pembantu masih harus berpikir keras untuk mencari segenggam beras dan sepotong ayam yang diopor dengan kuah berlimpah untuk makan pagi sebelum berangkat ke lapangan untuk shalat ied.

Baginda Rasul membocorkan rahasia tentang dimana menemukan Rasulullah SAW saat kita hendak mencarinya? 

Rasul bersabda, "temukan aku di sekumpulan fakir miskin, dengarkan suaraku di sela-sela rintihan anak yatim piatu, dan sentuh aku di tetesan air mata orang yang dizhalimi"

Sahabatku yang baik, semoga ramadhan kali ini kita bisa merayakannya bersama Rasulullah. Unfortunately, Rasulullah SAW tidak akan menghadiri perjamuan yang kita sajikan jika itu penuh dengan bau konsumerisme ramadhan.

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...