Berkurban adalah anjuran bagi umat Islam yang mampu agar menyembelih hewan (lazimnya di Indonesia: kambing, domba, sapi, dan kerbau) setelah selesai shalat iedul adlha sampai 3 hari berikutnya. Kurban yang merupakan derivasi kata (tashrif) dari qaraba yang arti dasarnya itu dekat. Sehingga qurban dipahami sebagai upaya mendekatkan diri pada yang memerintahkannya; Allah SWT.
Lalu apakah masyarakat kita saat ini masih berada pada pemahaman dasar berkurban seperti itu? Mendekatkan diri kepada-Nya adalah nilai tertinggi dari keseluruhan paket ibadah kita.
Sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk mengamalkan 5 rukun Islam dan sebagai mukmin kita dituntut untuk meyakini 6 rukun iman. Pada bagian akhir dan penentu ujungnya adalah ihsan dimana rukunnya hanya 1, yaitu: ikhlas.
Sahabat ku yang baik,
Lima rukun islam dan enam rukun iman, akan kehilangan makna hakikinya saat tidak diselimuti oleh nilai-nilai keberserahan mutlak pada-Nya yang disebut ikhlas. Sungguh, ikhlas inilah yang hendak dilatihkan lewat ibadah kurban.
Latar historis dari ibadah kurban itu sendiri ditutur dalam al-Qur'an tentang perintah Allah SWT pada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelihan anak kandungnya sendiri, Nabi Ismail AS.
Pada konteks kekinian dan kedisinian, Ismail bisa berwujud anak yang kita sayangi, jabatan yang kita dambakan, rumah yang kita bangun, mobil yang kita banggakan, dan bentuk lainnya. Intinya, Ismail yang dikorbankan oleh Ibrahim itu adalah wujud dari yang sangat berharga bagi kita.
Dasar pemahamannya kemudian, bahwa pengorbanan yang didasari keikhlasan selalu unlimited.
Simulasinya misalkan, jika perintah-Nya menuntut kita untuk mengorbankan sesuatu maka korbankanlah. Sejauh apa pengorbanannya, perhatikanlah case dari kisah Ibrahim AS. Andaikan yang dikorbankan itu harus yang sangat kita cintai, ikhlas akan mengantarkan kita melakukannya.
Tidak mudah bukan?
Betapa bangganya sekaligus beratnya beban yang dipikul oleh aparat sipil negara yang bernaung di instansi yang bermottokan "ikhlas beramal", Nah lho!!