Seorang yang menjadi penggerak perubahan selalu punya ribuan logika untuk meneriakan perubahan. Tapi lidahnya tiba-tiba kelu dan kaku saat perubahan itu mulai berbalik arah ke dirinya sendiri. Hukum perubahan itu berlaku menyeluruh. Untuk diri sendiri dan sekitarnya karena perubahan itu enak dan perlu!
Tidak ada diantara kita yang tidak mendambakan perubahan. Setiap hari kita bekerja agar ada perubahan dalam kehidupan kita. Setiap waktu, kita membaca berbagai informasi di media massa dan menyaksikan perubahan terjadi dimana-mana. Namun, andaikan ada perubahan diluar kita yang 'mengganggu' kebiasaan kita tidak jarang kita kesulitan menerima perubahan itu.
Kita perjuangkan perubahan, kita baca informasi tentang perubahan, kita menyaksikan perubahan dimana-mana, tapi kita kesulitan saat perubahan terjadi diluar kita.
Perubahan itu ada tapi kita tidak memperlihatkan sikap yang menerima perubahan itu sendiri, padahal tidak ada yang abadi kecuali perubahan.
Saya ingin memulai diskusi reflektif ini dengan menyatakan bahwa tidak ada yang tidak berubah, kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita pasti berubah. Fisik, sikap, cara pandang, pendapat, keadaan, emosi, dan lain sebagainya yang terkait dengan kita pasti berubah. Sekali lagi, hanya Tuhan yang tidak berubah.
Jika catatan ini saya tulis pada tanggal 6 Agustus 2017, pasti kita sama-sama meyakini kalau besok itu kita sudah di tanggal tujuh bulan agustus tahun dua ribu tujuh belas. Terus demikian waktu bergulir sampai kita tiba di tanggal terakhir bulan terakhir di tahun ini. Kemudian setelah itu kita menemui tanggal yang pernah ada sebelumnya, yaitu tanggal satu, juga bulan yang pernah kita lalui yaitu bulan januari, tetapi tahunnya sudah berbeda; 2018. Waktu berubah.
Dengan simulasi waktu seperti itu, saya yakin kita semua sadar, percaya, dan tentu setuju. Tapi apakah kemudian kita bersikap sesuai dengan pemahaman simulatif itu alias ikut berubah? belum tentu. Inilah yang ambigu.
Di dunia PNS, sayup-sayup kita dengar selentingan kalau dulu (sekali lagi, dulu) penerimaan CPNS bisa lewat jalur belakang, jalur khusus, atau TKW; tenaga kerja warisan alias jika orang tuanya PNS menjelang pensiun, ia akan mendapatkan 'hak khusus' untuk 'digantikan' oleh 'penerusnya'. Tapi, sekali lagi, itu dulu.
Kini penerimaan CPNS telah melalui pola yang sangat terbuka, melalui pola tes yang menggunakan metode CAT (Computer Assisted Test). Tidak ada peluang human error, tidak ada celah kongkalikong. Kalau kini sudah seperti itu, mengapa masih ada yang berpikiran "dulu".
Perubahan cara berpikir dan cara bertindak memang tidaklah mudah. Apalagi perubahan sekelompok orang yang kita sebut organisasi. Makin kompleks scuad organisasi itu, maka makin tidak mudah perubahan terjadi. Bukan tidak mungkin, tapi butuh usaha yang lebih keras, extra effort, untuk menggerakan roda perubahan pada organisasi yang memiliki kompleksitas tinggi.
Pada kegiatan Rapat Koordinasi Reformasi Birokrasi di Kementerian Agama, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin pernah memberikan tamsil yang indah terkait dengan perubahan di Kementerian Agama.
LHS memberikan alas terlebih dahulu dengan fakta bahwa Kementerian Agama adalah Kementerian dengan satuan kerja terbesar. Ibarat kapal laut, Kemenag bukan speed boat yang jika ingin mengubah haluan cukup dengan menggeser kemudinya sekali putaran saja. Tetapi Kemenag adalah kapal induk, kapal pesiar, kapal tanker yang jika ingin berbelok sedikit saja perlu memutar kemudinya berkali-kali agar dapat sedikit berbelok.
"Kapal yang besar tidak bisa berbelok dengan cepat seperti speed boat. Sesuatu yang besar, jika hendak melakukan perubahan perlu waktu dan usaha yang extra ordinary" (Lukman Hakim Saifuddin, 2017).
Illustrasi ciamik dari Menteri Agama yang akrab dipanggil LHS itu, tentang menggerakan perubahan pada sebuah organisasi, bukan hanya tentang Kementerian Agama. Bahwa betul untuk konteks Kementerian Agama, illustrasi itu direct shoot to the core point. Namun in general, illustrasi Pak LHS ini mengena ke seluruh organisasi.
Hal yang hendak kami 'catut' dari illustrasi itu adalah pada sisi bahwa perubahan tetap membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan keteguhan pada arah perubahan. Tidak bisa bermimpi; lakukan sekarang dan besok keadaan pasti berubah. Semakin tinggi kompleksitas perubahannya, semakin besar effort yang dibutuhkan; waktu, energi, dan mental.
Kembali ke awal, apakah masih mungkin kita percaya keniscayaan perubahan tetapi disikapi dengan anti-perubahan?
Percayalah, itu sama dengan anda melalui hari demi hari tapi tidak ganti pakaian, tidak mandi, bahkan tidak makan. Jangan percaya perubahan tapi bersikap anti-perubahan.
Percaya dan bersikap pro-perubahan adalah sebagian dari iman.