Dalam salah satu perjalanan pencarian ilmu, alhamdulillah penulis dipertemukan dengan tokoh-tokoh terkemuka yang berilmu digdaya dan beradab mulia. Ombak ilmu deras mengalir meski sesaat kami bersama beliau-beliau. Salah satu moment yang tidak akan lupa adalah ketika kami mereguk penjelasan tentang sepenggal bait yang diurai lebih dari dua jam. Sungguh separuh bait sepenuh makna.
Tercantum separuh bait dalam buku rujukan populer bagi pengkaji ilmu gramatika bahasa arab, yaitu Alfiyyah karya Imam Ibn Malik,
Separuh bait tersebut dimaknai sederhana, yaitu: kalaamunaa, kalimat kita (menurut para ahli bahasa) adalah, lafzhun, sebuah kata, mufiidun, yang mengandung makna, ka istaqim, seperti kata "istaqim" yang artinya "konsistenlah!"
Sampai dengan pemaknaan lughawi atau kebahasaan, tidak ada bedanya dengan kebanyakan santri lain menerima dari gurunya masing-masing. Namun kini kita pelan-pelan kupas sependek ingatan dan pemahaman penulis saat menerima penjelasan terurai menjuntai dari guru kami lebih dari dua dasawarsa yang lalu.
Kalaamu Naa
Diskusi mendasar di dunia bahasa selalu dimulai dengan mendefinisikan kalimat karena pada dasarnya bahasa adalah alat untuk menyampaikan suatu pesan dari pengirim kepada penerima pesan yang mana pesan itu berbentuk kalimat baik itu tertulis maupun terucap.
Imam Ibn Malik menggunakan redaksi "kalaamu naa", yang terdiri dari dua suku kata yaitu "kalaam" yang artinya kalimat dan "naa" kata ganti orang berbentuk plural atau "kita/kami". Secara konvensional, kalaamunaa dimaknai definisi kalimat menurut ahli bahasa, namun kami menerima penjelasan menarik dan lebih dari sekedar itu.
Kami dijelaskan bahwa kalaamunaa adalah pengakuan dari Imam Ibn Malik kepada kita agar ikut bergabung bersama beliau di barisan para pemikir hebat dan tokoh mulia selevel beliau. Maksudnya, bahwa kita yang menerapkan "kalaam" sebagaimana akan didefinisikan berikutnya, maka kita berada bersama atau setidaknya berbaris rapi di belakang beliau-beliau yang mulia. Rekognisi yang luar biasa dari beliau kepada kita semua jika kita mau mengikuti cara "berkalimat" seperti beliau.
Lafzhun
Komponen mendasar kedua setelah huruf dalam tata bahasa ucap dan tulis adalah kata. Pun demikian kalimat, strukturnya terdiri dari kata atau rangkaian kata. Rangkaian huruf yang dituliskan dan bunyi yang dikeluarkan mulut disebut kata. Apakah kata itu dimengerti oleh yang membaca atau mendengar, itu bukan bagian dari persyaratan kata. Bahasa lainnya, mau dimnegerti ataupun tidak tetap saja rangkaian huruf yang dituliskan dan bunyi yang dikeluarkan mulut disebut kata atau lafazh.
Bunyi yang dikeluarkan seekor burung, bagi kita manusia bukanlah kata tapi tentu itu adalah kata bagi burung lainnya. Demikian pula dengan tulisan di prasasti zaman baheula yang tidak kita mengerti itu tetap saja disebut kata karena ada ilmuwan arkeologi dan filologi yang memahaminya.
Sampai pada level ini, kita pahami bahwa kalimat harus terdiri dari kata. Sedangkan kata harus berada pada level (maqam) yang sama antara pengucap/penulis dengan pendengar/pembacanya. Ketika level kedua belah pihak itu berbeda, maka potensial kata itu tidak disebut kata.
Mufiidun
Bahasa dirumuskan untuk kebutuhan berkomunikasi. Bahkan ilmu pun ditujukan untuk diajarkan atau dikomunikasikan. Kisah Nabi Adam AS yang diuraikan pada QS Al-Baqarah Ayat 30 sd. 33 menyebutkan bahwa ada 2 (dua) bekal yang Allah SWT berikan kepada Nabi Adam AS agar kelak mampu menjadi khalifah di muka bumi. Pertama, ilmu pengetahuan, dan kedua, kemampuan berkomunikasi.
Komunikasi bukanlah menuliskan atau mengucapkan sesuatu saja. Komunikasi adalah menyampaikan sesuatu yang dapat dimengerti oleh pihak lain dan memberikan kegunaan (faidah) kepada mereka. Dalam konteks ini, bukanlah komunikasi yang tidak ada faidahnya. Komunikasi harus melahirkan faidah bagi para pihak yang terlibat.
Pada berbagai karya lain terkait tata bahasa arab, pakar ahli terkadang hanya cukup menyebutkan bahwa kalimat itu kata yang mengandung makna atau arti. Tetapi Imam Ibn Malik jauh melampaui itu. Makna atau arti tidak cukup baginya, tapi harus membawa serta kegunaan (faidah) bagi kedua belah pihak (communicator and communicant).
Dengan demikian, standar ukur minimal komunikasi adalah adanya kegunaan (ifaadah). Sepanjang apapun tulisan, selama apapun orator berpidato, tapi ketika tiada nilai guna didalamnya maka dalam perspektif ini tidak dikategorikan kalimat atau komunikasi. Kebergunaan kita menjadi alat ukur dasar dalam komunikasi.
Ka
Standar dalam pembelajaran bahasa adalah mengurai teori lalu menyajikan contoh untuk memberi pemahaman lebih mudah. Terkadang ada diantara kita yang langsung paham melalui penjelasan teoritis, ada juga yang baru mengerti teori setelah memperhatikan contohnya. Jangan contoh sudah disajikan, tetapi malah prakteknya berbeda dengan contohnya apalagi teorinya. Pun juga jangan contoh dijadikan satu-satunya seolah teori itu hanya berlaku bagi contoh itu saja. Contoh itu disebut contoh karena sebagai acuan, bukan karena satu-satunya.
[Artikel lainnya: Menatap-Menengok untuk Melangkah Tegap]
Imam Ibn Malik memberikan contoh untuk memudahkan teori yang disajikan didepannya, dan sekaligus mengingatkan bahwa banyak kalimat lain yang dapat dikategorikan kalaamunaa bukan hanya sekedar kata "istaqim" yang disajikan di separuh bait ini.
Contoh mengajarkan kita untuk berpikir derivatif, membiasakan mereplika satu terapan pada terapan lain, bahkan memodifikasi satu teori dengan mengambil pelajaran dari teori dan contoh pada teori berbeda. Demikian contoh mengajarkan kepada kita. Terbukalah dalam berpikir, jangan terpaku pada contoh. Kembangkanlah contoh yang ada, bukan terhenti pada contoh itu.
Istaqim
Dalam tatabahasa Arab, kata istaqim adalah satu kata mandiri yang disebut dengan kata kerja perintah (fi'l amr). Bukan kata kerja biasa yang menekankan kronologi waktu tetapi kata kerja perintah yang menekankan makna perintah dalam kata kerja tersebut.
Luar biasanya, Imam Ibn Malik memberikan contoh untuk kaidah lafzhun mufiidun itu hanya dengan satu bentuk kata "istaqim". Kata kerja perintah ini menandakan adanya yang memerintah, ada yang diperintah, dan ada isi perintahnya. Sempurna!
Bahkan, contoh istaqim ini pun menandaskan standing position Imam Ibn Malik pada tuntutan ifadah pada sebuah kalimat. "Konsistenlah kamu!", kalimat singkat, padat, jelas, dan gunanya serta standar ukur pelaksanaannya pun jelas.
Sebuah kalimat juara tidak harus berbusa-busa diucapkan atau bertele-tele dituliskan, tapi ia terdiri dari kata yang berdaya guna. Titik. Lebih dalam lagi, saking ifadah-nya kalimat itu sampai-sampai audiens-nya pun terdiam, tunduk, dan patuh (istiqamah).
[Artikel lainnya: Kesetiaan pada Komitmen Perjuangan]
Demikianlah, al-Imam Ibn Malik dalam separuh bait yang sepenuh makna. Padahal, kitab itu dinamai Al-Fiyyah, kitab seribu bait.
[Artikel lainnya: Manajemen Organisasi Alfiyah]
Sahabat,
Terkadang kesimpulan malah merusak narasi penjelasan, termasuk dalam catatan ini. Penulis hanya menengadahkan tangan dan berdo'a semoga seluruh guru-guru yang mengajari muridnya etika, tatakrama, dan pengetahuan diberikan kebahagiaan lahir batin, dunia dan akhirat oleh Allah Yang Maha Agung.
Mengenang perjumpaan mulia kaliemullah dengan sang putri yang keanggunannya abadi di tahun kedelapan putri ketigaku
Wallahu A'lam bi al-Shawab
WHS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar