Bukan teman dekat, bukan pula sahabat yang banyak tahu tentang beliau. Tapi penulis selalu menemukan aura bahagia saat menemuinya dan menggenggam tangannya. Selalu mencoba mencium tangan sang dzurriyah rasul ini tetapi selalu pula ia tepis dengan cara memeluk penulis sambil membisikan "Allahumma shalli 'alaa sayyidina Muhammad wa 'alaa alih wa shahbih...". Demikian cuplikan kisan penulis bersama al-Habib Sayyid Muhammad Alwi Fahmi bin Husin al-Munawwar, yang akrab penulis sebut Bib Alwi Fahmi ini.
Gaya bicaranya yang lepas, bebas, dan ceplas-ceplos membahagiakan penulis. Karena dengan gaya khasnya itu, Bib Alwi Fahmi sangat mudah dekat dengan lawan bicaranya hanya dalam satu dua ungkapan sapaan. Dulu ketika pertama kali atau setidaknya kesan pertama ketika masa-masa awal penulis mengenal beliau, penulis pernah berseloroh "Bib, bosen amat denger antum masih eselon IV, betah apa disitu?". Selorohan itu merespons cerita Bib Alwi Fahmi yang sudah bertahun-tahun menjabat pada jenjang eselon IV, jenjang terendah pada hierarki jabatan struktural PNS.
Dengan santainya Bib Alwi Fahmi membalas selorohan "Lah, ngapa ane repot mikirin itu lha wong antum juga belum naik eselon IV. Coba dipikir, antum dulu ke eselon IV, baru ane ke III." Nah, inilah Bib Alwi Fahmi. Angle narasi bicaranya membuat lawan bicara langsung menghadapkan seluruh perhatian kepadanya.
Tidak sering penulis bertegur sapa dengan Bib Alwi karena lokasi tempat tugas yang berbeda. Penulis di Lapangan Banteng Barat, sedangkan Bib Alwi di bilangan MH. Thamrin. Dua-duanya gedung Kementerian Agama RI.
Pernah pada momen peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama yang mengundang Prof. Dr. al-Habib Said Aqil Husin al-Munawwar, MA (Menteri Agama Periode 2001-2004) sebagai narasumber, Bib Alwi Fahmi mengajak penulis untuk bersiap menyambut kedatangan beliau. Benak penulis melintas pikiran kalau Bib Alwi khawatir jika kakaknya yang mantan Menteri itu tidak disambut selayaknya mantan menteri. Namun ternyata tidak. Sambutan luar biasa, tangan mantan menteri itu direbut jejalan pegawai yang hendak menciumnya. Bib Alwi cuma pengen penulis yang menyambutnya, karena "semua orang masih hormat sama ane punya abang, tapi yang ta'zhim cuma antum". Masha Allah....
Waktu berselang, penulis pun berpindah tugas ke gedung Thamrin, ruang kerja penulis dan Bib Alwi di lantai yang sama dan juga sama-sama di pojokan. Sebagai pendatang baru, penulis selalu berusaha berbaur dengan "penghuni lama". Namun pejabat kasubdit pada direktorat yang berbeda yang penulis kunjungi rutin ke ruangannya, hanya Bib Alwi. Tidak bicara pekerjaan, tidak pula bicara peta orang disana. Penulis full kan menggali pengalaman Bib Alwi bertugas di Ditjen ini.
Pengalaman seseorang banyak yang ditulis, tapi percayalah oral history jauh lebih nendang, apalagi penuturnya adalah pelakunya. Bib Alwi bercerita bebas dan lugas, tapi muaranya cuma dua saja; husnuzhan dan ikhlas. Bib, itu sederhana tapi berat. Ah saya mending dikasih yang njelimet tapi ringan, Bib.
Ingin sekali penulis memanggilnya abang, karena sebegitu humble beliau menyambut penulis. Setiap penulis hendak mencium tangan seorang dzurriyah rasul seperti beliau, dengan gayanya yang santuy, beliau mengelaknya dan mengalihkannya menjadi pelukan hangat dan senyum khas marga al-munawwar.
Bib, antum bahagia bersama datuk antum Baginda Rasul. Semoga kekangenan kami kep[ada antum ini menjadi surat cinta kami untuk antum sampaikan ke antum punya datuk. Sholluuu 'alayhi wa 'alaa alih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar