
Pada jaman pertengahan, ide tersebut mengalami rekonstruksi dalam lingkup kekuasaan teologis Gereja. Pada masa itu, Negara dianggap sebagai wakil gereja di dunia, dan gereja adalah wakil tuhan untuk menegakkan kehidupan moral di dunia. Ini lantas menjadi legitimasi kekuasaan mutlak dari Negara (Arief Budiman: 1996, Hal. 7).
Selanjutnya, di abad renaissance terjadi sekulerisasi yang memisahkan kekuasaan Negara dari gereja. Pemikir seperti Hobbes, Locke dan Rousseau mencoba melakukan kritik terhadap kekuasaan Negara pada fase-fase abad tengah. Mereka menawarkan model Negara dalam mainstream liberalisme, sebagai wujud dari renaissance yang mengagungkan otonomi manusia.
Pendapat tentang kekuasaan Negara ini kemudian diperkuat dan dipertajam oleh Hegel. Hegel berpendapat bahwa Negara adalah ungkapan roh obyektif, dimana ia merupakan gambaran dari kehendak, pikiran dan hasrat masing-masing individu (roh subyektif). Dengan demikian negara adalah institusi yang paling paham akan kehendak individu; rakyat tak mengetahui kehendaknya, yang mengetahuinya hanya negara.
Karena negara secara obyektif mengungkapkan apa yang bagi rakyat hanya ada secara subyektif (Franz Magnis Suseno: 1992, hal. 100). Jika Hobbes, Locke ataupun Rousseau hanya menolak realisasi negara yang mengekang kebebasan, berbeda lagi dengan Karl Marx yang berpendapat bahwa keberadaan negara adalah akibat dari adanya ketidakberesan yang bersifat fundamental dari masyarakat.
Negara menurut Marx, tidak mengabdi kepada kepentingan seluruh masyarakat, melainkan hanya melayani kelas-kelas sosial tertentu serta menjadi alat kelas dominan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pendapat Marx ini dikenal dengan konsep materialisme historis. Inti dari konsep ini terkait dengan hukum perkembangan masyarakat yang mengikuti hukum materialisme dialektis sebagai dasar ontologisnya.
Dengan mengunakan konsep materialisme historis itulah Marx memandang bahwa perkembangan masyarakat ditentukan oleh bidang produksi. Dari cara pandang demikian, berarti Marx telah meletakkan dimensi ekonomi sebagai basis (basic-structure) di satu sisi dan dimensi institusi sosial lainnya—terutama negara—dan bentuk-bentuk kesadaran sosial pada sisi bangunan atas (super-structure). (Nezar Patria dan Andi Arief: 1999, hal. 3).
Menurut Marx, pemisahan antara pemilik dan pekerja adalah ciri penentu dari semua bentuk ekonomi. Karena kelas-kelas dalam masyarakat itu dibedakan berdasar posisi dan fungsinya dalam proses produksi. Misalnya dalam masyarakat kapitalis, kelas masyarakat terbagi pada dua kelas.
Pertama, kelas borjuis sebagai pemilik, penghisap hasil kerja kelas lainnya dan berada pada struktur atas ekonomi. Kedua, kelas proletar sebagai pekerja. Dikendalikan oleh kelas borjuis dan berada pada struktur bawah ekonomi.
Dari kedua kelasifikasi tersebut dapat dipahami bahwa struktur atas adalah cermin dari keadaan struktur bawahnya. Dalam konteks kelas borjuis dan proletar itu, Marx memandang bahwa tugas negara adalah menjamin kedudukan kelas atas, yang fungsinya secara politik meredam usaha-usaha kelas bawah untuk membebaskan diri dari penghisapan kelas atas. Sedangkan fungsi “superstruktur ideologis”—istilah marxis bagi pandangan moral, filsafat, hukum, agama dan estetika—adalah memberikan legitimasi pada hubungan kekuasaan itu.
Artikel lainnya: Gramsci dan De-Ideologisasi
Pendekatan seperti ini disebut juga dengan determenisme ekonomis dan dikenal pula sebagai pandangan marxis kelasik yang inti pernyataannya adalah “bukan kesadaran yang menentukan eksistensi sosial, tapi eksistensi social yang menentukan kesadaran”. (Franz Magnis Suseno: 1992, hal. 266 dan Sindhunata: 1983, hal. 54).
Sepeninggal Marx, kecenderungan untuk menganalisa perilaku negara dan masyarakat dengan pendekatan ide, ideologi dan kebudayaan semakin menjamur. Misalnya terlihat dengan kemunculan gerakan Kiri Baru (New Left) yang menonjol di Eropa Barat dan Amerika.
Dari sekian banyak reaksi yang muncul atas ajaran Marx tentang perkembangan masyarakat dan keruntuhan kapitalisme, nama Antonio Gramsci (1891-1939) semakin terdengar gaungnya, terutama lewat gagasan briliannya tentang teori hegemoni. Oleh karena itu, berbagai gagasan Gramsci menjadi penting, khususnya dikaitkan dengan gerakan-gerakan oleh kalangan yang menamakan dirinya sebagai ‘post-marxist’ dewasa ini.
artikel lainnya: Hegemoni Menurut Gramsci
Akhirnya, konsep hegemoni yang merupakan gagasan paling orisinil dan genuin dari Antonio Francesco Gramsci (22 January 1891-27 April 1937). Sebagai seorang tokoh terkemuka dalam jajaran Filosof Marxist dan Politisi Komunis Itali, pemikiran Gramsci merupakan sumbangan penting bagi perkembangan kajian politik kontemporer.
Serial tulisan 'dibuang sayang'
Periode 2000