Apapun alasan yang dikemukakan mengapa kita bekerja, sepertinya tidak pernah 100% selesai dengan satu argumen. Kita sebut hanya sebatas cari uang, tetapi tidak sedikit diantara kita yang menggerutu jika pekerjaan yang diberikan ternyata bertolak belakang dengan kemampuan atau minat kita.
Bagi yang ingin mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan, ia pun kemudian patah arang saat menghadapi kenyataan di dunia kerja bahwa pertimbangan minat dan kompetensi masih jauh kalah dibandingkan dengan kebutuhan organisasi, bahkan keinginan pimpinannya.
Pada titik yang berjauhan dari dua kondisi diatas, ada juga pekerja yang tidak butuh aktualisasi diri dan juga tidak cari uang di tempatnya bekerja, tapi posisinya di sebuah tempat kerja hanya sekedar status sosial saja. Aktivitas harian di kantor A, tetapi lebih populer sebagai penceramah, dan ternyata rekeningnya lebih sering terisi dari toko kelontong yang dirintisnya sejak bujangan. Dalam konteks illustrasi ini, ternyata ditemukan alasan pekerjaan yang sesuai konteksnya.
Demikianlah, pekerjaan ternyata tidak bisa dikunci hanya sebatas soal cari uang, aktualisasi diri, atau komitmen organisasi, selalu muncul berbagai argumen tersebut dan argumen lainnya secara bersamaan untuk menjelaskan mengapa kita bekerja.
Lalu, pada kondisi seperti apa yang akan membuat kita mendapatkan jawaban atas alasan kita bekerja saat benar-benar berada di tempat bekerja?
Prestasi (terkadang menjadi) Solusi
Dalam kondisi dunia kerja yang sudah menganut sistem merit, berlaku slogan "from comfort zone to competitive zone". Masa lalu, kerja hanya sekedarnya saja kini bergeser pada zona kompetisi dalam makna semua pegawainya memacu diri untuk meningkatkan kompetensi individualnya masing-masing yang kemudian dikelola oleh pimpinannya bak dirijen yang mempersembahkan musik orkestra.
Sistem merit yang mengasumsikan basis kompetensi sebagai alat ukur penempatan dan penugasan pegawai, akan melahirkan prestasi pegawai sebagai solusi bagi pencapaian kinerja organisasi plus pertimbangan penting pengembangan karir pegawai tersebut.
Prestasi akan tampil sebagai harapan peningkatan jenjang karir pegawai. Akan tetapi, jika kolega dan pimpinan dalam suatu setting organisasi itu resisten terhadap aura competitive zone dan alergi pada performance appraisal, maka prestasi justru akan berubah menjadi alasan untuk menempatkan pegawai yang berprestasi sebagai target pembunuhan masa depan. Lahirlah kondisi "silahkan berprestasi kalau siap jadi common enemy". Memprihatinkan.
Kinerja (bisa) jadi PromotionTools
Jika sudah bukan prestasi yang menjadi kondisi terbaik bagi seorang pegawai, setidaknya ada organisasi yang berpandangan bahwa alat untuk mempromosikan pegawai itu cukup sekedar berkinerja (sedikit dibawah berprestasi). Dalam kondisi ini, pegawai tidak dituntut untuk mengkontribuasikan added value bagi organisasi, tapi cukup sebatas mengerjakan apa yang ditugaskan.
Di era berbasis kinerja tersebut, pola kebijakan karir pegawai akan terkonstruksi dalam skema mengkombinasikan secara kompromistis antara basis kompetensi dengan penilaian pimpinan. Tidak lebih baik, dari basis prestasi, tetapi setidaknya masih berbasis kinerja.
Menjadi Pegawai yang disukai
Jika ternyata basis kinerja pun tidak dapat diharapkan menjamin karir pegawai, maka kondisi terakhir adalah like or dislike. Pada kondisi ini, pegawai (bisa jadi) dilarang berprestasi bahkan pun (bisa jadi) tidak dituntut berkinerja. Pegawai lebih diminta loyalitas, komitmen, dan kepatuhannya pada pimpinan.
Jurus terbaik pada masa seperti itu adalah berupaya untuk menjadi pegawai yang disukai. Prestasi personal pegawai akan tersublimasi menjadi prestasi atasannya dan wanprestasi atasannya akan menempatkan pegawai sebagai tersangka utama.
Tidak nyaman, ya bagi anda yang masih menuhankan prestasi atau mengimani kinerja sebagai alat ukur "pegawai yang baik". Tapi "menjadi disukai" dinilai sebagai gabungan dari berkinerja dan berprestasi karena kinerja dan prestasi telah beralih menjadi tafsir tunggal pimpinan, hanya pada titik itu dinilai apakah anda berprestasi atau berkinerja. Lalu mengapa harus berputar ke dua titik lain, langsung saja ke titik utamanya; cukup disukai.
Walhasil,
Catatan ini bukan tips and trick untuk para pegawai, justru reminder bagi para pemimpin. Sampai kapan anda tidak mau sedikit berbagi ruang kebenaran sampai-sampai anda monopoli sedemikian rupa. Apakah anda yakin keadaan masih seperti dulu ketika anda muda?
Memenuhi keributan diksi
Yang tak pernah kunjung usai
Tabik, WHS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar