Rabu, 26 Juni 2024

Akhirnya, tentang diri sendiri

Tema tentang dinamika hubungan sesama manusia seolah tema abadi yang tak pernah tuntas oleh jutaan literatur. Bahkan ketika tema itu dipersempit sampai ribuan skala yang lebih spesifik, tetap saja muncul berbagai subtema lainnya yang seolah membuat kajian tentang hubungan sesama manusia itu memang open ended. Begitupun tentang hasad atau iri dengki, saya telah menulis tema itu dengan berbagai angle, tetapi selalu ada angle lain yang perlu ditambahkan kaitan tema tersebut. Kini saya beranikan diri untuk mencantumkan kata "akhirnya" pada catatan kali ini, meskipun tema tentang hubungan sesama manusia, tema tentang hasad atau iri dengki. But, this is --in my mind-- the next level of this kind of topic.

Saya telah tulis betapa hidup kita diliputi berbagai kesalahan, dosa, dan kekhilafan sesama manusia, sehingga karena itu tidak ada ruang buat masing-masing dari kita masih menyempatkan diri untuk memikirkan kesalahan atau kekurangan orang lain. 

Saya pun telah menulis tentang betapa kita tidak punya hak sedikitpun untuk merebut hak prerogative nya Tuhan Yang Maha Pengampun dengan menyatakan "tiada maaf bagimu" pada seseorang yang pernah berbuat salah pada kita apalagi pada orang atau pihak lain. Tuhan saja selalu membuka pintu ampunan bagi hamba NYA, lalu siapa kita memvonis seseorang celaka sampai akhir nanti.

Saya pun pernah menulis tentang betapa penyakit hasad atau iri dengki adalah penyakit hati yang paling cepat menular. Bahkan sasaran kedengkian orang bisa tetiba berubah menjadi pendengki pada yang lain hanya karena dikabari bahwa pelaku kedengkian berujar blablabla tentang dirinya. 

Saya pun pernah mencatat tentang status pendosa seseorang hanya layak dilekatkan pada seseorang yang saat ia melakukan dosa itu, tak perlu vonis atau tertangkap tangan, tapi cukup secara hakiki yang bersangkutan sesungguhnya mengakui itu adalah dosa. Namun ketika diluar waktu itu, maka sang pendosa tadi bisa jadi seorang ayah bagi anak-anaknya, seorang suami bagi istrinya, seorang pimpinan bagi para bawahannya, atau seorang pegawai bagi sebuah instansi tempat ia bekerja.

Luar biasanya, semua catatan itu tentang "andaikan" kita mengalaminya. Padahal tidak ada sama sekali manfaat dari semua catatan ataupun prinsip yang kita yakini ketika masih diatas kertas, di ujung lidah, atau di pikiran. Rasakan suasananya ketika kita benar-benar menjadi bagian inti dari cerita itu. Bagaimana ayat wa min syarri haasidin idza hasada terasa menggelegar saat kita betul-betul menjadi pembacanya dengan baik.

Akhirnya, apapun yang akan dilakukan, dipikirkan, direncanakan, diyakini, atau dioperasikan oleh seseorang atau sekelompok orang, bahkan oleh semua orang kepada kita semuanya tergantung pada diri kita sendiri untuk menyikapinya. Apakah akan berpegang teguh pada cara baik dalam pandangan NYA meskipun trial by public opinion, atau menghanyutkan diri pada provokasi massa mainstream dengan melakukan pembelaan di medan opini.

Rasakan dan nikmati indahnya bersandar hanya kepada NYA. Saat keburukan kita diumbar yang lain atau bahkan kita difitnah berburuk sikap padahal nyatanya tidak, segeralah membukakan telapak tangan memohon ampunya kepada NYA seraya meresapi betapa besar kesalahan sudah kita perbuat dengan telapak tangan ini. Hempaskan hasrat untuk mengklarifikasi cerita tentang kita di obrolan mereka dengan memfokuskan diri pada cerita tentang kita dihadapan NYA kelak. 

Bertahanlah sekuat tenaga untuk tidak bergeser menjadi hasid (pelaku hasad/dengki) saat kita menjadi mahsud (sasaran perilaku hasad/dengki) akibat dari kita dikabari cerita tentang perilaku hasad dari sang hasid. Betapa lebih baiknya jika kita tidak perlu tahu tentang siapa, mengapa, dan bagaimana hasad dilakukan kepada kita agar hati kita terbantu untuk tidak terkena polusi hasad. 

Namun andaikan kadung merebak cerita itu, teteskanlah air mata karena baru sebagian kecil saja keburukan kita diungkap oleh takdir NYA melalui mulut orang lain, kita sudah bermuram durja. Bagaimana jika semua dosa kita ditelanjangi setelanjang-telanjangnya. Ketika tersiar sudah cerita tentang keburukan kita, tundukanlah kepala keangkuhan kita pada kesadaran beristighfar tentang betapa mengerikannya pengadilan akhir kelak ketika semua keburukan kita masih belum terhapuskan.  

Inilah saatnya untuk menaikan kelas spiritual kita agar bersandar hanya kepada NYA dan sekali lagi kita dituntut memilih posisi mana yang hendak kita pilih. Akhirnya, tentang diri sendiri.....

Wassalam

WHS

Tidak ada komentar:

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...