Sabtu, 11 Mei 2024

Mengetahui dan Membuat Tahu

Salah satu hal penting dalam pola kerja organisasi adalah kemampuan komunikasi. Berhasil dan gagalnya organisasi seringkali ditentukan oleh keberhasilan atau kegagalan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam organisasi. Catatan ini hendak mengurai satu sisi tentang problematika transfer knowldge yang acapkali mendera organisasi. Sisi dimaksud adalah tentang dialektika "mengetahui dan memberi tahu.

Mengetahui dan membuat tahu "Mengetahui" asal katanya memang "tahu", tapi bukan yang temannya tempe. "Pengetahuan" mungkin kata benda yang lebih tepat untuk mengurai makna kata "mengetahui". Sehingga kata "mengetahui" itu dapat dimaknai dengan "memiliki pengetahuan". Adapun "membuat tahu" yang juga bukan yang mirip dengan membuat tempe, adalah "sebuah proses untuk membuat seseorang menjadi mengetahui".

Pengetahuan adalah faktor determinan dalam investasi pengembangan SDM organisasi. Tanpa input, proses, dan output pengetahuan, pengembangan SDM dapat disebut tidak berkontribusi apapun pada organisasi. 

Namun konsep dasar tentang krusialnya posisi pengetahuan dalam organisasi justru pada tataran faktual acapkali dieksekusi dengan tata sikap yang berlawanan dengan pengetahuan. 

Tidak sedikit SDM organisasi yang enggan menginvestasikan waktu dan perhatiannya untuk menggali pengetahuan tentang tugas dan tanggungjawab jabatannya, tapi anehnya ia menuntut agar kewenangan dan hak yang bersumber dari jabatannya itu tetap terpenuhi maksimal. Menginginkan keistimewaan pengetahuah, tetapi tidak mau menjadi yang "mengetahui".

Demikian pula (baca: tata sikap berlawanan terjadi) pada SDM organisasi yang memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang penting, bagian dari kewenangan, dan bermanfaat bagi organisasi justru enggan untuk meneruskan, berbagi, apalagi menguraikan dengan utuh tentang pengetahuannya itu. Kelompok ini tidak bisa dihitung sedikit, prosentasenya juga lumayan besar, padahal daya rusak dari kelompok ini sangat signifikan. Ia menghambat roda gerak organisasi, memulai instabilitas dengan skema disinformasi, dan menunda regenerasi. Upaya "membuat tahu" orang lain, sama dengan merusak organisasi.

(baca hal terkait dalam: Kuncen Kerja (Penyembunyi Informasi)

Hal sama (baca: tata sikap berlawanan terjadi) juga pada lemahnya kesabaran, ketekunan, dan kegigihan orang "yang mengetahui" untuk tetap konsisten dan berkomitmen kuat untuk terus tanpa henti dan menggunakan berbagai pola pendekatan dalam upaya "membuat tahu". 

Konsistensi dan komitmen kuat ini memang dibutuhkan karena ketika "membuat tahu" hanya ditopang oleh keinginan biasa saja, maka dengan mudah akan roboh oleh pola sikap enggan menggali pengetahuan dan enggan berbagi pengetahuan.

Sampai pada titik ini, kita kembali ke alinea awal dari catatan ini bahwa andaikan kita sudah berhasil menegaskan diri untuk terus menggali pengetahuan sehingga berada pada posisi "mengetahui", maka tantangan berikutnya adalah apakah kita sanggup untuk naik level ke posisi "membuat tahu"?

"Mengetahui" seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi karena sesungguhnya tidak ada pengetahuan yang tidak perlu. Namun untuk menjadi bermanfaat, pengetahuan (ilmu) harus dilaksanakan (diamalkan). Pun demikian dengan "membuat tahu" yang menjadi karakter asli dari pengetahuan, sesungguhnya tidak perlu menjadi hambatan karena dalam logika sehat manapun pengetahuan memang untuk disampaikan atau diberitahukan.

Sayangnya, alinea diatas hanya karena saya berpikir dengan cara saya berpikir padahal pola ini (memaksakan pikiran sendiri kepada orang lain) adalah bagian dari hambatan pada upaya naik kelas dari "mengetahui" menjadi "membuat tahu".

Kopi sudah habis, begitu juga "tahu" gorengnya. Bisa buat tahu lagi?

WHS   

Tidak ada komentar:

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...