Tanpa berniat mengesamping sisi heroik dari historis penerbitan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 Tahun 2020 yang berada di area pelataran, penulis mengajak langsung untuk menerobos masuk ke ruang utama dari PMA tersebut, yaitu: persyaratan perubahan bentuk PTKN.
Bolak-balik pimpinan PTKN ke Jakarta, tetap saja pada ujungnya sekumpulan focus group discussion tentang usulan perubahan bentuk PTKN itu bermuara ke hal utama tentang seberapa besar peluang sebuah PTKN berubah bentuk.
Jika diformulasikan dalam pertanyaan, kira-kira bisa dua versi denga titik tekan berbeda. Pertama, "apakah benar bahwa lembaga PTKN yang anda kelola layak untuk dinaikan bentuk kelembagaannya?". Tapi kalau kedua, dengan kalimat yang lebih progresif, "bagaimana caranya agar PTKN yang kami kelola dapat berubah bentuk kelembagaannya?".
Semoga sampai titik ini dapat tertangkap sinyal yang kami pancarkan. Perhatikan baik-baik. Mengapa perubahan bentuk PTKN itu bicara tentang peluang (opportunities) yang sebaris dengan kemungkinan (posibilities), bukankah menuju perubahan bentuk itu PTK diperhadapkan dengan persyaratan tertentu? Disini diskusi kita mulai menghangat.
Persyaratan Perubahan bentuk PTKN dalam PMA Nomor 20 Tahun 2020, kita tertuju pada Pasal 5 ayat 1 yang redaksinya adalah sebagai berikut:
Tujuh item yang dipersyaratkan untuk proses perubahan bentuk PTKN sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat 1 ini jelas merupakan sajian data kuantitatif.
Bahkan diperjelas lagi dengan lampiran dari PMA Nomor 20 Tahun 2020 yang menampilkan format teknis yang mencantumkan angka yang dipersyaratkan pada setiap komponen dari ketujuh item pada ayat 1 tersebut yang kekuatan hukum lampiran ini ditegaskan pada ayat 3 dari pasal 5 ini yang menyatakan bahwa rincian dari ayat 1 diurai pada lampiran yang "merupakan bagian tidak terpisahkan dari ketentuan peraturan menteri ini".
Pasal 5 Ayat 1 jelas seperti itu, pun ayat 3 nya yang mempertegas posisi ayat 1. Lalu apa isi ayat 2 dari pasal 5 ini?
Dengan analisis perbandingan itu, catatan ini mengarahkan pada pemahaman bahwa pasal 5 ayat 1 dan pasal 3 ini bertentangan, tidak. Justru pasal 3 ini memperkuat kehadiran pasal 5 ayat 1 sebagaimana pemahaman seperti ini dipertegas oleh Pasal 5 ayat 2.
Keempat item dalam Pasal 3 merupakan peluang terbesar bagi PTK yang berkeinginan mengajukan perubahan bentuk karena keumuman makna dan pemahaman atas item-item tersebut serta sifat datanya yang sangat kualitatif.
Dari sudut lainnya, dapat pula dibahasakan bahwa ke-kuantitatif-an sajian data serta hasil scoring atas komponen pada pasal 5 ayat 1 harus diperkuat dengan ke-kualitatif-an data yang dituntut oleh Pasal 3. Bisa jadi, apapun hasil scoring atas pemenuhan persyaratan yang diatur ketat oleh pasal 5 ayat 1 dan 3 dapat terkoreksi oleh kepiawaian menyajikan data kualitatif yang bersifat naratif dan abstraktif yang diminta oleh Pasal 3.
Demikianlah berikutnya, proses perubahan bentuk PTK berproses dengan penuh perdebatan dan adu argumentasi yang muaranya sesungguhnya hanya berayun diantara dua pasal ini. Perkuat data kualitatif yang diminta pasal 3 dan penuhi data kuantitatif yang diatur rinci oleh pasal 5 ayat 1 dan 3.
Tanpa sajian meyakinkan atas komponen dasar perubahan bentuk (Pasal 3), tampilan data pemenuhan persyaratan kuantitatif (Pasal 5 ayat 1) akan dipertanyakan dan diragukan. Namun apakah jika ditemukan lubang besar pada pemenuhan persyaratan dapat dianulir atau diabaikan karena narasi komprehensif pada data kualitatif dasar perubahan bentuk?
Catatan tentang pengalaman pernah melihat proses perubahan bentuk PTKN yang sangat dinamis, sedinamisnya konstelasi politik tanah air yang tak kenal reda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar