Jumat, 20 Desember 2019

Pengalaman

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Umum dan populer kita dengar common platform seperti itu. Pengalaman menjadi mantra sakti memenangkan kontenstasi untuk memperebutkan sesuatu. Pengalaman menjadi garansi penting saat penilaian personal. Karena pengalaman, seseorang dipercaya atau diragukan. Lalu, seperti apakah pengalaman itu dan seperti apa pula rupa orang yang berpengalaman itu?

Pengalaman dapat dipahami sebagai sesuatu yang telah berulang kali dialami. Tidak hanya sekedar pernah, tapi harus berkali-kali atau dalam periode yang cukup panjang untuk ukuran sebuah pekerjaan. Orang yang mengalami sesuatu berkali-kali itulah yang kita sebut orang yang berpengalaman dalam sesuatu itu. 

Pengalaman atau mengalami tentu dapat dengan mudah kita pilah dari pengetahuan atau mengetahui. Pengetahuan lebih cenderung teoritis, sedangkan pengalaman lebih dominan ke praktek. 

Hubungan pengetahuan dan pengalaman pun sesungguhnya tidak dengan mudah dirumuskan. Maksudnya, menurut kami, tidak semua pengetahuan itu tanpa pengalaman karena bisa jadi ia mengetahui sesuatu itu karena pernah mengalaminya. Pun sebaliknya, jangan kita anggap yang berpengalaman itu minim pengetahuan, karena bisa jadi pengalaman itu terlahir karena pengetahuannya. 

Dengan tidak meremehkan diskusi naratif tentang pengetahuan dan pengalaman, tulisan ini coba difokuskan pada upaya menjawab sebuah pertanyaan "Bagaimana orang berpengalaman itu tercipta?"

Bahasan ini akan kita mulai dengan studi kasus tentang bagaimana pengalaman diposisikan saat sebuah organisasi hendak memberikan tugas pada karyawannya. Pimpinan organisasi pasti akan mengkalkulasikan berbagai hal saat akan memilih siapa yag hendak dipercaya untuk mengemban sebuah tugas, salah satunya pengalaman.

Seorang pimpinan akan ragu mengambil keputusan saat karyawan yang hendak ditunjuknya itu masih minim pengalaman terkait dengan tugas yang hendak dipercayakannya. Sampai disini saya alihkan sedikit ke samping. Saat seorang pemimpin atau atasan memberikan tugas baru pada bawahan sesungguhnya ada 2 kondisi yang mempengaruhinya. 

Pertama, pimpinan itu membangun asumsi bahwa ditunjuk atau tidaknya seorang karyawan untuk melaksanakan tugas itu karena ia ingin yang terbaik untuk bawahannya itu. Jangan sampai tugas itu malah merepotkan dan tidak bisa dikerjakan oleh karyawan tadi. Tapi, ada kondisi kedua yang agak tersembunyi yaitu sesungguhnya sang pemimpin sedang melindungi dirinya sendiri agar kinerja organisasi dan nama baik sang pemimpin itu tidak rusak gara-gara kegagalan kinerja bawahannya.

Kembali ke fokus; bagaimana menciptakan individu yang berpengalaman. Setidaknya ada tiga perspektif untuk menciptakan individu berpengalaman. Pertama, keberanian pimpinan menjadi kunci terlahirnya orang berpngalaman. Pemimpin organisasi harus mempunyai visi dan keberanian untuk memberikan kepercayaan kepada bawahannya yang notabene belum berpengalaman. 

Visi dan keberanian seorang pemimpin menjadi faktor pengungkit karena sebesar apapun kompetensi seorang pegawai tidak akan pernah dapat menyajikan atau membuktikan kompetensinya itu tanpa diberikan kesempatan atau kepercayaan terlebih dahulu. 

Coba kita perjelas lagi dengan sudut pandang berbeda. Seseorang disebut pemimpin jika ia memiliki keberanian untuk memberikan kepercayaan kepada bawahannya untuk melaksanakan tugas yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam hal tugas tersebut dengan konsekuensi pendampingan langsung dan intensi kepada bawahan yang dipercaya itu.

Kedua, pengalaman diciptakan, bukan terlahir tanpa usaha. Pengalaman seseorang tidak datang begitu saja karena pengalaman mengasumsikan kristalisasi berbagai aktivitas tertentu secara berulang-ulang, terus menerus, dan linear. Pengalaman adalah proses menjadi, bukan sekedar status penyebutan si A berpengalaman.

Perspektif proses ini menjadi penting agar kita tidak lantas ragu untuk mengambil langkah pertama menjalani sesuatu yang baru karena siapapun yang berpengalaman tentang sesuatu saat ini, dulu ia pernah memulai langkah pertama mengalami sesuatu itu.

Ketiga, pengalaman harus membebaskan bukan menyandera. Saat seseorang berpengalaman mengelola sistem aplikasi, organisasi memiliki ketergantungan besar padanya dalam hal pengelolaan sistem aplikasi. 

Andaikan ada jabatan kosong tersedia, maka sang pengelola sistem aplikasi itu berpeluang untuk tidak direkomendasikan mengisi jabatan tersebut karena pimpinannya khawatir kalau yang bersangkutan dipromosikan pada jabatan tertentu, lalu siapa yang mengelola sistem aplikasi. Pengalaman malah menyandera sang pemiliknya, bukan justru mengorbitkannya.

Demikianlah pengalaman mengajarkan kepada kami tentang bagaimana memahami pengalaman.

Tabik, 
WHS

Gaya Melampaui Fakta

Perlu dinyatakan terlebih dahulu bahwa catatan ini bukan tentang dogma agama tentang takdir yang sepenuhnya hak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini a...