Oh itu yang dia maksud. Ternyata orang yang 'mengaku tak beragama' saja mulai meresahkan kehidupan sesudah kematian.
Dengan logika sederhananya, orang yang tak beragama itu membangun perasaan tentang ruginya beraktivitas sepanjang hayat tapi tanpa harapan pasti apa yang akan didapat.
Bagaimana dengan kita?
Dalam anggapan teman saya itu, kita yang disebutnya beragama itu beruntung karena saat kehidupan berakhir kelak kita masih akan melanjutkan cerita berikutnya; surga atau neraka.
Tentu tanpa beban ia menguraikan pilihan surga-neraka itu karena point yang mau disampaikannya hanya soal kausalitas. Setiap makan berakibat kenyang, setiap kerja menghasilkan upah, setiap amaliyah berbuah surga (untuk amal shalih) dan neraka (amal salah).
[baca juga: amaliyah dunia vs aktivitas ukhrawy]
Dalam logika dasar, tidak perlu kita salahkan premis yang dibangun oleh cara pandang itu. Karena, sekali lagi dalam logika dasar, kausalitas itu wajar dan make sense.
Nah, pertanyaannya bagi anda yang mengaku beragama apakah juga masih berpikiran dan bersikap pada basic level seperti itu?
Apakah kita masih melaksanakan ajaran agama karena berharap menjadi penghuni surga. Kita pun menghindarkan diri dari semua hal yang dilarang oleh agama karena sangat takut dijebloskan ke neraka.
Pada analogi kasus lain yang lebih sederhana, apakah kita masih seperti apakah kita masih jenis karyawan yang bekerja penuh inovasi dan limitless itu karena berharap dipromosikan ke jenjang yang anda incar selama ini.
Anda pun khawatir dibuang dari tempat yang anda merasa nyaman selama ini gara-gara anda tidak dapat melayani publik dengan baik. Bukan kualitas layanan yang dikhawatirkan tapi masa depan karier yang diperhatikan.
[baca juga: diberhentikan dari jabatan]
Lebih simple lagi apakah kita masih seperti anak kecil yang butuh iming-iming sepeda atau hadiah lainnya saat anak itu berupaya terbaik di sekolahnya. Bukan tidak bisa membaca yang seorang anak takutkan, tapi anak itu khawatir tidak jadi punya sepeda baru.
Apakah cara kita beragama masih seperti anak kecil? Ibadah hanya karena mendambakan surga-Nya, dan tidak maksiat hanya karena takut terjerambab di neraka.
Tidak salah beragama seperti itu, tapi pada level pemula. Nah, sudah berapa tahun usia diberikan-Nya kepada kita sehingga masih saja kita berkelakukan pemula.
Sahabat, perlahan mari kita sama-sama naik kelas. Menjauhi perilaku jahat karena perilaku itu tidak disukai-Nya, beribadah kepada-Nya karena itu membuat kita dicintai-Nya. Fokuslah kepada-Nya jangan pada yang lain.
[baca juga: Dari rizki sampai amal diterima]
Lafazh subhanallah (maha suci Allah), perlahan kita selipkan di bilik hati agar mulai terbiasa membersihkan pikiran dan harapan dari selain-Nya. Ibadah bukan karena takut neraka, bukan pula karena surga yang didamba.