Secara
konseptual, kebijakan WFH ini telah mereduksi pembatasan ruang yang selama ini
dijadikan standar disiplin melalui platform presensi fisik di ruang kerja. Akan
tetapi WFH masih patuh pada batasan waktu karena mekanisme presensi online yang
diberlakukan masih pada rentang waktu jam kerja sebagaimana diatur sebelumnya.
Dengan
asumsi bahwa WFH hanya sekedar memindahkan tempat kerja tetapi masih mengunci
ketat jam kerja, tidak sulit untuk menerima pendapat yang meragukan efektivitas
bahkan validitas hasil WFH.
Alih-alih
menjadi ruang kompromi antara produktivitas kerja dengan protokol kesehatan
masa pandemi, WFH menjadikan disiplin PNS bahan guyonan melalui pola presensi
daring dan solusi temporer pada dunia kerja di era pandemi.
Bayangkan
seorang pegawai di rumahnya harus standby di depan laptop dan/atau keep contact
dengan rekan kerjanya via daring pada rentang waktu dimana aktivitas di rumah
pun sedang ‘produktif’. Hemat penulis, kondisi ini menggambarkan betapa WFH
telah mengadu domba individu dalam dua peran berbeda; ASN di kantor versus
peran lainnya saat di rumah.
Sampai
titik ini, sudah cukup rasanya para ASN ‘berlatih’ dengan WFH pun demikian
sudah terlalu besar belanja modal pegawai dikeluarkan negara untuk membayar
gaji pegawai saat mereka sedang ber-WFH ria. Kini sudah saatnya pemerintah
menyegerakan penerapan konsep yang lebih progresif, yaitu Flexible Working
Arrangement (FWA). Sebuah konsep berkinerja dengan komitmen batasan ruang
dan waktu kerja yang disepakati secara terbuka dan berbasiskan capaian output
nyata.
FWA
mengasumsikan kemandirian setiap pegawai untuk memilih ruang dan waktu kerja
yang paling nyaman buat dirinya dengan satu platform utama yaitu output
terwujud dan kinerja tercapai. Lebih dari itu, FWA pun menjadi jalan terbaik
bagi dunia birokrasi untuk merespons secara positif era revolusi industri 4.0
yang ditandai dengan pola kerja computasi digital berbasis teknologi jaringan (network).
Sesungguhnya
konsep FWA bukan hal baru di dunia kerja. Berbagai naskah kerja penelitian di
berbagai belahan dunia telah mengkaji serius tentang pentingnya penerapan FWA
di dunia kerja untuk menjaga keseimbangan pola hidup (worklife balance),
merespons trend digital di era disrupsi, optimalisasi kinerja berbasis hasil,
dan mempertahankan daya saing organisasi.
Dengan
penerapan FWA, diharapkan pola kerja birokrasi lebih mengedepankan kinerja
dibandingkan formalitas disiplin yang sekedar pemenuhan waktu kerja (working
time) dan kehadiran di tempat kerja (working space) yang bertolak
belakang dengan era disrupsi yang sudah mereduksi batasan ruang dan mempersempit
rentang waktu.
Bonus
demografi Indonesia yang diprediksi oleh Bappenas akan terjadi pada satu
dasawarsa ke depan (2030-2040) hanya akan menjadi ledakan masalah besar di
dunia kerja termasuk sektor pemerintahan, jika sumbu masalah di bidang pendidikan
dan ketenagakerjaan tidak dituntaskan segera.
Namun
jangan pula dikesampingkan bahwa ketika bidang pendidikan dan ketenagakerjaan
berjalan dengan baik sekalipun, belum tentu bonus demografi itu dapat diraih
manfaatnya jika dunia kerja masih tidak beradaptasi pada pola piker SDM dan
sistem kerja global yang sudah tidak lagi terpaku pada working space and
time. Kembali posisi FWA hadir menjadi karpet merah bagi SDM unggul di masa
bonus demografi.
Kembali
ke konteks hari ini. Sesungguhnya kajian pemerintah pada kemungkinan penerapan
FWA dalam mekanisme kerja birokrasi telah dimulai lama. Setidaknya mulai tahun
2019 Kementerian PANRB bekerja sama dengan Australia-Indonesia Partnership for
Economic and Development telah menggelar Dialog Strategis Optimalisasi Kinerja
ASN yang topik utamanya adalah tentang peluang penerapan FWA pada sektor publik
pemerintahan. Berbagai rekomendasi dan catatan telah dihasilkan dalam forum
tersebut.
Selain
itu, pada 28 November 2019 saat Ekspos Hasil Kajian dari Lembaga Administrasi
Negara (LAN) bertema “Membangun Organisasi Pemerintah
yang Responsif dan Berorientasi Pelayanan”, Eko Prasojo menegaskan bahwa
indikator kinerja di Indonesia perlu dibenahi seiring tuntutan kemajuan
teknologi menuju ruang kerja masa depan yang fleksibel. Robotic agent
yang dibawa serta oleh revolusi industri memaksa birokrasi memasuk flexible
working space and time.
Dengan
demikian, mendesak untuk segera memberikan porsi perhatian lebih dari instansi
pemerintah pada peluang penerapan FWA secara menyeluruh tidak hanya sekedar
menjadikan beberapa Kementerian/Lembaga sebagai pilot project semata karena
dewasa ini imbas dari pandemi sudah sedemikian massif dan mengancam kinerja
mesin pemerintah.
Sudah
lebih dari satu tahun pandemi covid19 mendera Indonesia. Seluruh sektor dipaksa
menyesuaikan diri pada protokol kesehatan yang tidak hanya diharuskan tetapi
sudah disadari sebagai hak masing-masing individu untuk menjaga dirinya agar
tidak terpapar covid19. Work from Home pun diberlakukan sebagai mekanisme kerja
di era pandemi. Berbagai rapat digelar secara daring, ASN berada di rumah
masing-masing untuk melaksanakan tugas jabatannya, bukti presensi pun
dieksekusi melalui aplikasi yang diakses secara daring. WFH sudah menjadi
bagian dari budaya kerja birokrasi.
Hanya
membutuhkan sedikit sentuhan pada manajemen kinerja, kejelasan output yang
dituntut, keterukuran kinerja yang ditargetkan, dan kelancaran pola komunikasi
antar hierarki organisasi. Selain itu, tentu manajemen organisasi pun
memerlukan perombakan besar peta proses bisnis dan SOP yang kemudian dimapankan
dengan komitmen kerja yang terbuka antara atasan dan bawahan dalam kendali realtime
dashboard guna memantau perkembangan pelaksanaan FWA agar tidak semena-mena
diimplementasikan.
Inilah saatnya, birokrasi berbenah. Menyadari diri sedang memasuki era revolusi industri 4.0 bahkan 5.0, budaya kerja birokrasi tidak bisa mengunci diri dalam kungkungan normativitas pemahaman dan pelaksanaan dari disiplin PNS yang membatasi ruang dan waktu kerja pada limitasi yang sudah diruntuhkan oleh dunia komputasi digital era disrupsi.
Ini saatnya meneruskan WFH menjadi FWA pada instansi pemerintah yang tidak sekedar solusi temporer pada protokol kesehatan era pandemi covid19 tapi berorientasi masa depan dan menaikan kelas disiplin PNS menjadi komitmen pada kinerja berbasis hasil nyata.
Tabik, WHS
Dimuat pada Harian Sindo, Senin, 8 Maret 2021 [link: Sindonews]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar